Kisah malang yang menimpa Winie semakin menambah panjang kasus-kasus serupa di tempat lain dan institusi yang berbeda. Puluhan tahun silam, Januari 1983, misalnya, SMAN 68 Jakarta Pusat pernah melarang salah seorang siswinya mengikuti pelajaran karena mengenakan jilbab. Ia dianggap tidak mematuhi aturan seragam sekolah. Hal serupa terjadi di SMAN 33 Jakarta.
Masih ingat dengan kasus pemecatan Hadis dan Dewi? Mereka adalah dua mahasiswi Akper Muhammadiyah Banjarmasin yang dikeluarkan lantaran tidak menaati aturan berpakaian yang ditetapkan oleh institusi tempatnya belajar. Keduanya dikeluarkan hanya karena mengenakan jilbab yang mereka yakini lebih sempurna. Ini terjadi pada tahun 2003.
Setahun lalu (2007), di Jawa Timur, juga ada larangan berjilbab bagi peserta seleksi calon anggota Paskibraka di Kabupaten Kediri. Di Jakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta memperketat aturan berjilbab bagi para mahasiswinya. Di Bandung, juga terjadi pelarangan jilbab bagi perawat di Rumah Sakit Kebonjati.
Sebetulnya, masih banyak kasus serupa di banyak tempat lain di Indonesia, yang mungkin sebagiannya tidak terungkap oleh media secara nasional. Jelas, ini ironis sekali. Pasalnya, Indonesia bukan seperti negara-negara Barat yang jelas-jelas kufur. Indonesia mengklaim bukan negara sekular. Bahkan tertuang dalam UUD 1945, pasal 29: Negara memberikan jaminan kebebasan bagi warga negaranya untuk menjalankan kehidupan beragamanya.
Muslimah di belahan dunia lain juga tidak kalah pilunya. Mereka mendapatkan perlakuan tidak adil dan biadab. Turki, misalnya, yang mayoritas penduduknya Muslim dan pernah menjadi pusat pemerintahan Islam selama berabad-abad lamanya, melarang mahasiswanya untuk mengenakan jilbab ke kampus. Demi mempertahankan jilbabnya, banyak gadis berjilbab yang akhirnya putus sekolah dan lebih memilih tinggal di rumah daripada pergi ke kampus dengan rambut terurai.
Di Jerman, wilayah larangan berjilbab semakin meluas. Dari 16 negara bagian, 8 negara bagian telah memberlakukan larangan tersebut. Dikatakan, larangan berjilbab diadakan untuk menghindari seseorang dari pengaruh. Tidak jelas pengaruh apa yang dimaksud.
Di Prancis, Presiden Jacques Chirac telah memberlakukan undang-undang yang juga melarang penggunaan jilbab bagi Muslimah.
Di Belanda, Maret 2006, Geert Wilders yang merupakan salah seorang anggota parlemen sayap kanan menggelindingkan bola liar dengan mengusulkan larangan mengenakan burqa (termasuk juga jilbab). Ia mengatakan bahwa burqa akan menjadi musuh kaum perempuan. Apa yang dilontarkan oleh Wilders berbuntut pada munculnya peraturan yang melarang pemakaian burqa secara nasional di seluruh wilayah Belanda pada Desember 2006.
Di Inggris, November 2004, jilbab juga kembali dilecehkan. Saat ini dilontarkan oleh institusi tertinggi kedua dalam Keuskupan Inggris. Pernyataan itu berasal dari Uskup York, John Sentanu, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar British Daily Mail. Ia menyatakan bahwa jilbab tidak sesuai dengan norma-norma kesopanan.
Larangan berjilbab juga diberlakukan di Swedia dan Belgia.
Di Spanyol jilbab dituduh sebagai simbol penindasan terhadap kaum perempuan. Padahal Spanyol telah mengakui Islam berdasarkan undang-undang kebebasan beragamanya yang disahkan pada Juli 1967.
Di Nigeria jilbab di sekolah serta penggunaan celana panjang dan peci untuk laki-laki juga dilarang.
Bahkan di negara Timur Tengah seperti Tunisia pun terjadi hal yang sama. Saat kepemimpinan Presiden Tunisia Habib Bouruiba, tahun 1981 Tunisia meratifikasi UU nomor 108 yang melarang wanita Muslimah di Tunisia mengenakan jilbab di lembaga-lembaga pemerintahan. Puncaknya, Pemerintah Tunisia bahkan ‘mengharamkan’ wanita berjilbab ‘masuk’ dan dirawat di rumah sakit negara. Lebih ‘biadab’ lagi, pemerintah telah melarang ibu-ibu hamil melahirkan anaknya di rumah sakit negara lantaran berjilbab. Bahkan saking kalapnya dalam aksi pemberangusan jilbab, pada September 2006, pemerintah Tunisia menggelar sebuah operasi pengamanan dengan mengobrak-abrik berbagai toko yang di dalamnya menjual boneka berjilbab, ‘Fulla’.
Inilah potret Muslimah yang selalu menjadi korban pertama dan utama dalam setiap penerapan sekularisme radikal. Mereka juga sekaligus korban dari apa yang disebut dengan ‘Islamophobia’ (ketakutan dan kebencian terhadap Islam).
Pejuang HAM Diam, Penguasa Tak Peduli
Dalam banyak kasus larangan jilbab, berbagai LSM/kelompok-kelompok pejuang HAM lebih banyak diam. Kemana pula para pegiat isu gender? Bukankah para Muslimah juga perempuan yang harus diperjuangkan hak publiknya? Mungkin karena kasus larangan jilbab justru menguntungkan mereka. Pasalnya, selama ini mereka bekerja seolah untuk sebuah ‘proyek’: menyudutkan Islam dan kaum Muslim. Saat Islam dan kaum Muslim sedang tersudut, mereka diam. Ketika ada peluang untuk menyudutkan Islam dan kaum Muslim, dengan cepat mereka bereaksi. Contohnya dalam kasus poligami Aa Gym beberapa waktu lalu atau pernikahan Syekh Puji-Ulfa baru-baru ini.
Di sisi lain, penguasa pun seolah tidak peduli terhadap kasus-kasus sensitif yang menimpa umat Islam, termasuk kaum Muslimah, khususnya dalam kasus larangan jilbab. Padahal, bandingkan dengan dulu saat umat Islam berada dalam naungan Kekhilafahan Islam dan penerapan syariah Islam, serta dipimpin oleh para khalifah yang adil dan amanah. Pada masa Khalifah al-Mu’tashim Billah, misalnya, pernah seorang Muslimah berteriak, “Wahai al-Mu’tasim! Di manakah engkau?!” Muslimah itu ditawan oleh Kerajaan Romawi di Malta. Di sana ia dilecehkan kehormatannya sekaligus diperlakukan dengan sangat buruk. Meski ia sangat jauh di Malta, beritanya telah tersebar dari orang ke orang hingga sampai juga kepada Khalifah.
Dengan cepat Khalifah al-Mu’tashim bereaksi. Tidak tanggung-tanggung. Ia lalu mengumandangankan jihad terhadap Kerajaan Romawi. Secepat kilat, Khalifah al-Mu’tashim berikut puluhan ribu bala-tentara kaum Muslim bergerak menuju kota Ammuriyah di Romawi, untuk kemudian menaklukan Kerajaan Romawi saat itu juga. Demikianlah, hanya demi melindungi seorang Muslimah, Khalifah tak segan-segan mengumandangkan perang jihad melawan siapa saja yang melecehkan Islam dan kaum Muslim.
Bagaimana dengan nasib ribuan—bukan hanya seorang—Muslimah pada hari ini yang bernasib buruk? Mereka bukan saja dilarang berjilbab, bahkan sebagiannya dilecehkan kehormatannya dan diperkosa oleh orang-orang kafir, sebagaimana telah banyak terjadi di Palestina, Irak dan Afganistan. Tak ada satu pun penguasa Muslim yang tersentuh kemudian tergerak untuk melindungi mereka.
Islamophobia Vs Keagungan Islam
Berbagai kasus pelarangan jilbab di Indonesia maupun di luar negeri, khususnya di negara-negara Barat, boleh dikatakan merupakan wujud dari masih bercokolnya sikap Islamophobia (ketakutan dan kebencian terhadap Islam), baik di kalangan umat Islam sendiri maupun kalangan non-Muslim.
Tentu aneh jika ada kalangan Islam yang malah phobi (takut) terhadap Islam. Adanya ketakutan dan kebencian kaum kafir terhadap Islam juga tak kalah anehnya. Pasalnya, sepanjang sejarah, saat umat Islam menjadi pemimpin dan syariah Islam diterapkan, Islam adalah agama yang senantiasa menjamin keamanan, keselamatan dan kebebasan kaum minoritas non-Muslim dalam beribadah sesuai dengan keyakinan mereka. Ini sudah berlaku sejak masa Rasulullah saw. dan tetap dilaksanakan oleh para khalifah sepeninggal Beliau. Kebijakan yang begitu ramah terhadap non-Muslim ini terus berlangsung selama berabad-abad lamanya sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam.
Karen Amstrong dalam bukunya, Holy War, menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Khalifah Umar bin al-Khathathab kira-kira sebagai berikut, “Pada tahun 637 M, Umar bin Khaththab memasuki Yerusalem dengan dikawal oleh Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah meminta agar ia segara dibawa ke Haram asy-Syarif dan di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Muhammad saw. melakukan perjalanan malamnya. Sang Uskup memandang Umar penuh dengan ketakutan. Ia berpikir, ini adalah hari penaklukan yang akan dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel. Pastilah, Umar adalah sang Anti Kristus yang akan melakukan pembantaian dan menandai datangnya Hari Kiamat. Namun, kekhawatiran Sofronius sama sekali tidak terbukti.”
Setelah itu, penduduk Palestina hidup damai dan tenteram; tidak ada permusuhan dan pertikaian meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda: Islam, Kristen, dan Yahudi.
Apa yang dilakukan Khalifah Umar ra. jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh tentara Salib pada tahun 1099 M. Ketika mereka berhasil menaklukkan Palestina, kengerian, teror, dan pembantaian disebarkan hampir ke seluruh kota. Selama dua hari setelah penaklukkan, 40.000 kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib berjalan di jalan-jalan Palestina dengan menyeberangi lautan darah. Keadilan, persatuan, dan perdamaian tiga penganut agama besar yang diciptakan sejak tahun 1837 oleh Khalifah Umar ra. hancur berkeping-keping.
Meskipun demikian, ketika Shalahuddin al-Ayyubi berhasil membebaskan Kota al-Quds pada tahun 1187 M, beliau tidak melakukan balas dendam dan kebiadaban yang serupa. Karen Armstrong menggambarkan penaklukan kedua kalinya atas Yerusalem ini sebagai berikut, “Pada tanggal 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin menepati janjinya. Ia menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Ia tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099…”
Perlakuan Kekhalifahan terakhir, Khalifahan Utsmaniyah, terhadap kaum non-Muslim dilukiskan sejarahwan Inggris, Arnold J. Toynbee, dalam bukunya, Preaching of Islam, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa…”
Demikianlah, dengan secuil fakta sejarah di atas, jelas tidak seharusnya orang-orang non-Muslim, apalagi kaum Muslim, tetap mengidap Islamophobia. Sebab, Islam datang memang untuk menebarkan rahmat bagi seluruh umat manusia.