Di tengah derasnya pertumbuhan pariwisata dan perkembangan perkotaan, suatu daerah di Bali, sebuah pemukiman mampu mempertahankan tradisi berumur ratusan tahun untuk hidup berdampingan dengan gemerlap dunia modern. Itulah Desa Adat Penglipuran. Berlokasi di kabupaten Bangli, sekitar 45 km dari Denpasar, Desa Adat Penglipuran sudah ada sejak 700-an tahun yang lalu, yaitu pada zaman kerajaan Bangli. Penduduk dari daerah Bayung Gede di Kintamani pindah ke tempat desa ini berada sekarang. Nama Penglipuran sendiri berasal dari kata Pengeling Pura yang berarti tempat suci untuk mengingat para leluhur. Segala pengembangan fisik desa dan pengembangan budayanya masih mengacu pada tanah leluhur yang masih ada di Bayung. Bahkan untuk berbagai upacara adat tertentu masih harus memohon restu ke tanah leluhur tersebut.
Desa ini menganut tata ruang dengan konsep trimandala, dibagi ke dalam tiga ruang yang berbeda secara fungsi dan tingkat kesucian, yaitu utama, madya dan nista. Letak ketiga ruang ini membujur dari utara (gunung) ke selatan (laut), dengan jalan desa lurus berundak sebagai poros tengah, memisahkan ruang madya menjadi dua bagian. Di paling utara pada zona utama atau “ruang pada dewa”, berdiri bangunan suci pura bernama Penataran tempat beribadah para penduduk desa. Adapun zona madya atau “ruang manusia” terdapat 76 kaveling pekarangan dan rumah tempat bermukim warga terbagi ke dalam dua jajaran, yaitu barat 38 dan timur 38. Setiap kaveling memiliki ukuran 800-900 meter persegi memanjang dari barat ke timur. Jalan desa sebagai pemisah dipertahankan bebas dari kendaraan roda empat dan tidak menggunakan aspal tetapi paving block dan batu sikat. Bagian paling selatan adalah nista mandala atau “ruang bagi manusia yang telah meninggal” berupa tempat pemakaman penduduk desa. Rumah setiap keluarga dalam setiap kaveling tampak hampir seragam semuanya, berada dalam pekarangan dan dibatasi oleh pagar tembok serta memiliki gerbang khas Bali sebagai pintu masuk. Setiap pekarangan mempunyai beberapa bangunan berupa ruangan tidur, ruangan tamu, dapur, balai-balai, lumbung dan tempat sembayang dalam rumah. Antara satu pekarangan dengan pekarangan lainnya terdapat jalan sempit yang menghubungkan keduanya. Bangunan berarsitektur tradisional dengan material tiang dari kayu dan atap yang khas berupa sirap bambu.
Penggunaan bambu yang cukup dominan tidaklah mengherankan karena 40% dari luas wilayahnya merupakan hutan bambu. Material untuk bangunan bisa diambil dari hutan ini, di samping juga untuk bahan barang kerajinan dan kebutuhan untuk ritual. Dari sisi ekologis, hutan bambu berfungsi vital untuk menahan erosi mengingat kondisi lahan desa yang miring. Kemampuan mempertahankan penataan ruang dan bangunan secara tradisional di desa Penglipuran, menjadi suatu daya tarik tersendiri sehingga akhirnya tempat ini berkembang menjadi desa wisata. Kegigihan para penduduknya untuk memperjuangkan keaslian desa juga patut mendapat penghargaan, tidak mengherankan desa Penglipuran pernah memperoleh anugerah Kalpataru.
Karena Desa Penglipuran terletak didataran yang agak tinggi,suasana terasa cukup sejuk. Selain suasana pertamanan yang asritetapi juga sangat ramahnya penduduk desa terhadap tamu yangdatang. Banyak wisatawan yang datang dapat menikmati suasana desadan masuk kerumah mereka untuk melihat kerajinan –kerajinan yang penduduk desa buat. Sehingga untuk tinggal berlamalama disini sangatlah menyenangkan. Kawasan ini telah didaulat menjadi desa adat Bali sejak tahun 1992. Hal itu berangkat dari penampilan fisik desa dan budayanya yang tidak berubah, meskipun telah tersentuh teknologi. Mereka hidup dalam gotong royong dengan banyak aturan unik yang disebut ”awig-awig”. Undang-undang desa inilah yang mengatur sendi kehidupan mereka. Seperti larangan membuang hal-hal nista dan kotor di tempat umum. Tidak boleh membawa limbah keluarga ke got umum. Dan anjuran setiap warga harus membuat sistem pembuangan limbah sendiri di pekarangan masing-masing. Jika melanggar maka akan dikenakan denda minimal Rp 50,-.
Akibatnya, tidak terlihat bak sampah bertebaran. Mereka mampu mengatur kotoran maupun sampah dengan baik. Membagi menjadi dua bagian dengan perlakuan berbeda. Untuk sampah kering akan langsung dibakar sedangkan sampah basah seperti sisa makanan bisa dijadikan pakan ternak. Kebiasaan hidup bergotong royong dan mencintai kebersihan serta memiliki budaya malu yang tinggi menjadikan desa Penglipuran bersih dan nyaman.
Hal unik lainnya adalah adanya makam desa. Sebuah areal yang terdiri dari 3 bagian tanpa nisan dan rata dengan tanah. Bagian pertama diperuntukan bagi jasad anak-anak yang berusia 12 tahun atau kurang. Di sisi lainnya untuk yang meninggal dengan normal (sakit). Dan bagian untuk almarhum yang meninggal dengan tidak wajar, seperti dibunuh atau kecelakaan. Upacara Ngaben diadakan hanya untuk mengantarkan roh orang meninggal kepada Sang Pencipta. (artikel dikutip dari berbagai sumber)
Categories:
corat-coret,
Kenanganku